Onani, Bagaimana Hukumnya dalam Islam?


DEWASA ini, dalam bidang medis, onani atau masturbasi banyak dianjurkan untuk para pemuda-pemudi yang belum menikah. Jika pun tidak dianjurkan, tapi dibolehkan.  Alasannya, untuk kesehatan. Ada saja dalih-dalih yang dipergunakan. Mulai dari mencegah kanker, menjaga imunitas tubuh, sampai melepaskan stress, dan sebagainya. Tapi sesungguhnya bagaimana hukumnya dalam Islam?

Masturbasi atau Onani (dalam bahasa Arab disebut dengan Istimna) ialah suatu perbuatan merangsang diri sendiri dengan tujuan mencapai kepuasan tanpa pasangan yang sah. Dalam Islam—menurut mayoritas para fuqaha—onani adalah suatu perbuatan yang dipandang sebagai dosa besar. Imam Ashafie dan Imam Malik, mengharamkan perbuatan ini berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla dalam Al-Qur’an: “Dan mereka yang menjaga kehormatannya (dalam hubungan seksual) kecuali kepada istri atau hamba sahayanya, maka sesungguhnya mereka tidaklah tercela. Maka barangsiapa yang menginginkan selain yang demikian, maka mereka adalah orang-orang yang melampaui batas,” (Surat Al-Mu’minun 23-5,6,7).

Penjelasan Imam As-Shafie dan Imam Malik diperkuat pula oleh riwayat berikut: “Di hari akhirat Tuhan tidak akan melihat golongan-golongan ini lantas terus berfirman: ‘Masuklah kalian ke dalam api neraka bersama-sama mereka yang (berhak) memasukinya. Golongan-golongan tersebut ialah 1). Orang-orang homoseksual, 2). Orang yang bersetubuh dengan hewan, 3). Orang yang mengawini istri dan juga anak perempuannya pada waktu yang sama dan, 4). Orang yang kerap melakukan onani, kecuali jikalau mereka semua bertaubat dan memperbetulkan diri sendiri, (maka tidak lagi akan dihukum,” (Maksud riwayat yang disandarkan kepada Nabi Sallallahu-alaihi-wasallam, dikemuakan oleh Imam azd-Dzahabi dalam Al-Ka’bar, 59, tanpa mengemukakan status kekuatannya atau sumber periwayatannya).

Mengapa masturbasi dan onani diharamkan? Sebab ini akan hanya mendorong pelakunya untuk melakukan hubungan seksual yang selanjutnya. Nah pintu inilah yang ditutup oleh Islam. Menurut Shah Waliallah Dahlawi kegiatan ini juga berdampak pada aspek negatif priskologis si pelaku, perasaan malu, kotor dan berdosa menghinggapi. Sehingga ia tidak berani untuk mendekati laki-laki atau wanita yang ia sukai. Malu akan kelakuannya ini juga merupakan fitrah manusia.

Melakukan hal itu secara sering juga banyak membawa mudarat kepada kesehatan si pelaku, badan lemah, anggota tubuh kaku dan bergetar, perasaan berdebar-debar dan pikiran tidak menentu. Belum lagi hal ini akan mempengaruhi produksi berbagai organ reproduksi yang normal. Berkurangnya sel telur dan sperma hingga tidak bergairah. Melazimkan diri dengan onani telah membuat pelaku menjauhi nilai-nilai moral serta akhlak tinggi yang menjadi unsur utama kemuliaan umat Islam.

Namun, sebagaian ahli fiqh berpendapat bahwa onani-masturbasi dibolehkan jikalau seseorang menghadapi keadaan yang gawat karena luapan syahwat dan dia berkeyakinan bahwa dengan melakukan hal ini, ia akan meredakan syahwatnya dan dapat pula menghalangi dirinya dari terjerumus ke dalam sesuatu zina atau pelacuran. Setelah tentunya ia melakukan berbagai tindakan preventif seperti puasa, dzikir dan shalat, (QS Yusuf 12, ayat 32 dan 33).

Membolehkannya para ulama bukanlah bertujuan menghalalkan perbuatan tersebut tetapi didasarkan kepada kaidah usul fiqh yang menyatakan: “Dibolehkan melakukan bahaya yang lebih ringan supaya dapat menghindari bahaya yang lebih berat.” Di sini perlu diperhatikan bahwa, itu diperbolehkan dalam suasana yang amat penting. Bukan dilakukan setiap hari dengan ransangan pula. Pertama dibolehkan atas dasar pertimbangan maslahat agama. Sedangkan yang kedua diharamkan atas dasar pertentangan dengan perintah dan nilai-nilai agama.

Dan barang siapa yang berusaha untuk menjauhkan onani-masturbari atas dasar taqwa dan iman kepada Allah Subhanahu waTa’ala, niscaya Allah akan mencukupinya. Insya-Allah hidayahNya akan membimbing seseorang itu menjauhi perbuatan nista tersebut dan akan digantiNya dengan anugerah kelazatan jiwa dan kepuasan batin yang tidak mungkin tergambarkan.

Sederhananya, jika hati dan nurani kita merasa tidak nyaman dengan apa yang kita lakukan, itulah tandanya bahwa ada sesuatu yang salah dengan yang sedang kita perbuat. Wallohu alam bishawwab. []

Sumber: Reliance of the traveler oleh Imam As-Shafie/Prof. Dr. Afzalur Rahman- Ensiklopedia sirah 5/25-26 dengan merujukan kepada ahli-ahli kesehatan/Prof. Dr. Hamka – Membahas soal-soal agama dan ensiklopidi hukum islam 4/1149/Shaikh Al-Tantawi – Al-Fatawa, ms 1761; Prof. Dr. Yusuf Qardhawi-halal dan haram in islam, pg 171; Ensiklopidi Hukum Islam, 4/1148-1149.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel